Laman

Sabtu, 21 November 2015

Studi Kasus dan Analisis tentang Pemuda dan Sosialisasi

Meningkatnya budaya seks bebas di kalangan pelajar mulai mengancam masa depan bangsa Indonesia. Bahkan perilaku seks pra nikah tersebut dari tahun ke tahun meningkat. Pendataan yang dilakukan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Masri Muadz, menunjukan kasus tersebut menunjukkan peningkatan yang semakin miris bagi kita.
Menurut penuturan Masri kepada okezone, belum lama ini, Wimpie Pangkahila pada tahun 1996 melakukan penelitian terhadap remaja SMA di Bali. Dia mengambil sampling 633. Kesemuanya memiliki pengalaman berhubungan seks pra nikah, dengan persentase perempuan 18% dan 27% laki-laki. Sedangkan penelitian Situmorang tahun 2001 mencatat, laki-laki dan perempuan di Medan mengatakan sudah melakukan hubungan seks dengan komposisi, 9% perempuan dan 27% laki-laki. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) di tahun 2002-2003, remaja mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada: usia 14-19 tahun, perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%. Sedangkan pada usia 20-24 tahun perempuan 48,6% dan laki-laki 46,5%.
SKRRI pun melanjutkan analisanya pada tahun 2003 dengan memetakan beberapa faktor yang mempengaruhi mereka melakukan seks pra nikah. Menurut SKRRI, faktornya yang paling mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual antara lain: Pertama, pengaruh teman sebaya atau punya pacar. Kedua, punya teman yang setuju dengan hubungan seks para nikah. Ketiga, punya teman yang mendorong untuk melakukan seks pra nikah. Di tahun 2005 Yayasan DKT Indonesia melakukan penelitian yang sama. DKT memfokuskan penelitiannya di empat kota besar antara lain: Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Medan.
Berdasarkan norma yang dianut, 89% remaja tidak setuju adanya seks pra nikah. Namun, kenyataannya yang terjadi di lapangan, pertama, 82% remaja punya teman yang melakukan seks pra nikah. Kedua, 66% remaja punya teman yang hamil sebelum menikah. Ketiga, remaja secara terbuka menyatakan melakukan seks pra nikah. Persentase tersebut menunjukkan angka yang fantastis. Jabodetabek 51%, Bandung 54% Surabaya 47% dan Medan 52%. Tahun 2006, PKBI menyebutkan, pertama, kisaran umur pertama kali yakni 13-18 tahun melakukan hubungan seks. Kedua, 60% tidak menggunakan alat atau obat kontrasepsi. Ketiga, 85% dilakukan di rumah sendiri.
Sementara merujuk pada data Terry Hull dkk (1993) dan Utomo dkk (2001), PKBI menyebutkan, 2,5 juta perempuan pernah melakukan aborsi per tahun dan 27% atau kurang lebih 700 ribu remaja dan sebagian besar dengan tidak aman. Selain itu 30-35% aborsi penyumbang kematian ibu. Pada 2007 SKRRI melakukan penelitian kembali. Penelitian tersebut menunjukkan peningkatatan yang drastis. Pertama, perilaku seks pranikah remaja cenderung terus meningkat dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) juga terjadi pada remaja. Kedua, jumlah kelompok remaja Indonesia yang menginginkan pelayanan Keluarga Berencana (KB) diberikan kepada mereka. Ketiga, meningkat jauh dari SKRRI 2002. Keempat, jumlah remaja 15-24 tahun sekira 42 juta jiwa, berarti sekira 37 juta jiwa remaja membutuhkan alokon tidak terpenuhi (unmet need berKB kelompok remaja). Kelima, kelompok ini akan tetap menjadi unmet need. Sebab dalam undang-undang No 10 tahun 1992, pelayanan KB hanya diperuntukkan bagi pasangan suami istri, sesuai dengan pemilihannya.
Bahkan, temuan Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Penelitian Bisnis dan Humaniora (LSCK-PUSBIH) di tahun 2008 lebih mengagetkan lagi. LSCK-PUSBIH melakukan penelitian terhadap 1.660 mahasiswi di Yogyakarta. Hasil yang mereka dapatkan, 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang kegadisannya dan 98 orang mengaku pernah melakukan aborsi.
Penelitian Komnas Perlindungan Anak (KPAI) di 33 Provinsi pada bulan Januari-Juni 2008 menyimpulkan empat hal: Pertama, 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. Kedua, 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital stimulation (meraba alat kelamin) dan oral seks. Ketiga, 62,7% remaja SMP tidak perawan. Dan yang terakhir, 21,2% remaja mengaku pernah aborsi.
Dari sekian lembaga penelitian di atas, menurut Masri, semua elemen harus ikut telibat memberi andil mencari solusi meminimalisir perilaku seks pra nikah. “Budaya ini diam-diam mengancam bangsa Indonesia. Tentu ini membutuhkan penanganan khusus demi mengembalikan budaya timur,” tuturnya.
Cara untuk mencegah dan mengurangi pengaruh buruk dari media sosial seperti :
  1. Pembinaan dan pengembangan sikap generasi muda.
  2. Adanya pengawasan orang tua.
  3. Ditanamkan moral-moral agama
  4. Adanya sosialisasi tentang pemahaman bahaya media sosial dan cara pemanfaatan media sosial yang baik.

Kesimpulan
Kesimpulan dari studi kasus diatas adalah pemuda dan sosialisasi merupakan suatu hal yang sangat erat kaitannya dalam kehidupan sehari-hari, dimana para pemuda harus aktif berpartipasi dalam kehidupan sosial sehari-hari. Sosok pemuda di negeri ini sangat dibutuhkan untuk kemajuan hidup bersama membangun bangsa ini. Para pemuda dan pemudi berperan sebagai penerus bangsa yang harus meneruskan cita-cita para leluhur kami. Berfikir secara kritis dan berjiwa sosial merupakan hal penting yang harus ditanamkan dalam diri masing-masing. Oleh karena itu sebagai penerus bangsa ini, hendaknya kita selalu berfikir dan bertindak secara positif dalam menangani hal dan keadaan apapun .

Sumber :

http://shuresarwasyi.blogspot.co.id/2015/01/studi-kasus-dan-analisis-pemuda-dan-sosialisasi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar