Kearifan Lokal
Pengertian kearifan lokal (local wisdom) dalam kamus terdiri dari dua
kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris
Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat,
sedangkan wisdom (kearifan) sama
dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local
wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat
(local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam
dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal
istilah local genius.
Gobyah(2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) merupakan
kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal
merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai
yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat
setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan
produk budaya masa laluyang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan
hidup. Meskipun bernilai lokaltetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap
sangat universal.
Menurut Caroline Nyamai-Kisia(2010), kearifan lokal adalah sumber
pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh
populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan
budaya sekitarnya. Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan
pada level lokal dibidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber
daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung
pula kearifan budaya lokal.Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan
lokal yang sudah sedemikianmenyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya
serta diekspresikan dalamtradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang
lama.
Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan
masyarakat. Melville J. Herskovits
dan Bronislaw Malinowski mengemukakan
bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan
yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas
Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward
Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.
Menurut Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh
pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat
pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Hubungan Kearifan Lokal dengan Kebudayaan
Kearifan Lokal sebagai Aset Budaya bangsa dan
Implementasi dalam Kehidupan Masyarakat.
Oleh
Drs. Abdul Syani, M.IP.
Drs. Abdul Syani, M.IP.
Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada
karaktreristik masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain,
karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan,
di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi
memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut kesejehteraan
kehidupan mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki kearifan lokal
sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal terbuka menerima etnis lain sebagai
saudara (adat muari, angkon), etnis Batak juga terbuka, Jawa terkenal dengan
tata-krama dan perilaku yang lembut, etnis Madura dan Bugis memiliki harga diri
yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletannya dalam usaha. Demikian
juga etnis-etnis lain seperti, Minang, Aceh, Sunda, Toraja, Sasak, Nias, juga
memiliki budaya dan pedoman hidup masing yang khas sesuai dengan keyakinan dan
tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasma. Beberapa
nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan
kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke
dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka,
sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat
setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial
budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi
dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam bingkai
kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling
melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial
yang berlaku.
Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi
sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada
masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan
identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan
kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu
dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke
arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan
nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap
eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai
tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan
dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan
dikembangkan lebih jauh.
Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur
itu mulai meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna substantifnya.
Upaya-upaya pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan simbolik tanpa arti,
penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diketahui
bahwa pada tahun terakhir, budaya masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal
nyaris mengalami reduksi secara menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan
formalitas, bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan
untuk komersialisasi dan kepentingan kekuasaan.
Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa
cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal
sebagai sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan
kesejahtaraan bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan
kreativitas dalam memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal
Lampung adalah prinsip hidup “Piil Pesenggiri”. Hal ini disebabkan oleh adanya
penyimpangan kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung
lebih memihak kepada kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan
umum. Kepentingan subyektivitas kearifan lokal ini selalu dimanfaatkan untuk
mendapatkan status kekuasaan dan menimbun harta dunia. Para elit ini biasanya
melakukan pencitraan ideal kearifan lokal di hadapan publik seolah membawa misi
kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa pada realisasinya
justeru nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya sekedar
alat untuk memperoleh dan mempertahan kekuasaan. Pada gilirannya, masyarakat
luas yang struktur dan hubungan sosial budayanya masih bersifat obyektif
sederhana makin tersesat meneladani sikap dan perilaku elit mereka, juga makin
lelah menanti janji masa depan, sehingga akhirnya mereka pesimis, putus asa dan
kehilangan kepercayaan.
Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap
kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal,
akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan. Masyarakat
adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka melalui
penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber daya
kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk menguak makna substantif kearifan
lokal, di mana masyarakat harus membuka kesadaran, kejujuran dan sejumlah nilai
budaya luhur untuk sosialisasikan dan dikembangkan menjadi prinsip hidup yang
bermartabat. Misalnya nilai budaya “Nemui-Nyimah” sebagai kehalusan budi
diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus dalam pergaulan hidup. Piil
Pesenggiri sebagai prinsip hidup niscaya terhormat dan memiliki harga diri
diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, kreativitas dan peranan yang
bermanfaat bagi masyarakat, demikian juga dengan makna-makna kearifan lokal
nilai-nilai budaya lainnya. Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai budaya ini
harus disebarluaskan dan dibumikan ke dalam seluruh kehidupan masyarakat agar
dapat menjadi jati diri masyarakat daerah. Keberadaan Piil Pesenggiri merupakan
aset (modal, kekayaan) budaya bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan
untuk meningkatkan kesadaran jatidiri bangsa untuk diteruskan kepada generasi
berikutnya dalam keadaan baik.
Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya
berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan
tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya lokal berbicara pada tataran
penawaran terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral
dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan
pertumbuhan antagonis berbagai kepentingan hidup.
Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal, proses
kompromi budaya selalu memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika
berhadapan dengan budaya-budaya yang baru. Elemen-elemen itu dipertimbangkan,
dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula yang bertentangan. Hasilnya
selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang elegan, setiap elemen mendapatkan
tempat dan muncul dalam bentuknya yang baru sebagai sebuah kesatuan yang
harmonis.
Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak
lepas dari hasil kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak.
Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara
garis besar meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan
hidup manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat
kebijakan harus mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan
semua pihak, kemudian menyikapi, menata, menindak¬lanjuti arah perubahan
kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan
sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman dalam
upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada pihak
yang dikorbankan.
Sumber :